WcBma5LrLOg50X66kF3p5HaCfJ41Lo99JHjSF8cx
Bookmark

Definisi Hukum Pajak

Definisi Hukum Pajak

Hukum Pajak, adalah kumpulan peraturan-peraturan yang dipergunakan untuk mengatur hubungan hukum antara Negara (Fiscus) sebagai pemungut pajak dan masyarakat sebagai pembayar pajak. Hal itu, menunjukan bahwa di bidang perpajakan akan berhadapan dua subyek hukum, ialah Negara dengan masyarakat sebagai wajib pajak.

Karena keduanya berstatus sebagai subyek hukum, maka secara yuridis memiliki hak dan kewajiban yang harus diadopsi dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

Apabila berkeinginan untuk mengetahui tujuan hukum pajak, maka sebelumnya perlu diketahui tujuan hukum secara umum sebagai landasan bagi hukum pajak. Secara umum, tujuan hukum telah banyak dikemukakan oleh para ahli, seperti Aristototeles dalam bukunya Rhetorica, yang menganggap bahwa hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan.

Selain untuk mencapai keadilan, menurut para ahli lainnya, hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban, kepastian hingga untuk mencapai kebahagian Sedangkan tujuan hukum pajak secara umum, adalah menciptakan keadilan di dalam pemungutan pajak yang dilakukan oleh penguasa (Negara) kepada masyarakat sebagai wajib pajak.

Bahwa nilai adil di setiap Negara dalam pemungutan pajak berbeda, di Jepang pegawai negeri dibebaskan dari pajak pendapatan karena di pandang adil, sebab pegawai negeri telah langsung menyumbangkan tenaga dan pikiran kepada pemerintah.

Di dalam melakukan pemungutan pajak, keadilan merupakan hal yang sangat sulit dalam praktek pelaksanaannya, tetapi dengan adanya azas - azas yang menjiwai setiap hukum pajak, diharapkan pemungutan pajak dapat dilakukan secara baik dan tepat (proposional). Adil menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah :
  1. sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak;
  2. berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran; dan
  3. sepatutnya, tidak sewenang-wenang
Dan menurut Ahmad Azhar Basjir, MA, konsep adil, adalah sangat simple ialah : menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sedangkan keadilan adalah sifat (perbuatan atau perlakuan) yang adil. Jadi keadilan pajak adalah sifat (perbuatan atau perlakuan) yang tidak sewenang-wenang atau tidak berat sebelah atas sistem perpajakan yang berlaku.

Lalu, bagaimana dengan keadilan membayar pajak? Ketika seseorang tidak bayar pajak padahal menikmati fasilitas umum yang dananya dari pajak, tentu menjadi tidak adil. Orang yang tidak bayar pajak pastinya akan melukai rasa keadilan.

Sehingga aspek keadilan pajak tentu menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk memberikan pemahaman dan menanamkan dalam hati sanubari setiap orang. Kesadaran dan kepedulian memahami aspek keadilan pajak menjadi penting untuk terus disosialisasikan ke berbagai lapisan masyarakat.

Akan tetapi hal tersebut berbeda dengan kebijakan pemungutan pajak yang didasarkan atas peraturan perundangundangan. Karena seseorang berkewajiban membayar pajak apabila telah memenuhi isi peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Semisal, seseorang memiliki kewajiban membayar pajak penghasilan apabila ia memiliki penghasilan. Demikian sebaliknya, jika tidak memilki penghasilan maka secara hukum ia tidak memiliki kewajiban membayar pajak penghasilan.

Hal ini merupakan juga suatu bentuk keadilan dalam pemungutan pajak. Keadilan pajak menjadi harga mahal yang harus diperjuangkan menuju keadilan dan kesejahteraan bersama. Seperti diketahui, undang-undang pajak di mana pun pasti memiliki aspek keadilan, baik dari sisi materi maupun cara penerapannya.

Aspek penegakan hukum merupakan salah satu cara dalam menerapkan undangundang guna mewujudkan keadilan pajak. Ketika keadilan pajak tidak mampu dilakukan melalui pendekatan persuasif, tentunya aspek penegakan hukum melalui pemeriksaan maupun penyidikan adalah cara tepat mewujudkan keadilan pajak.

Selain soal keadilan pajak, aplikasi moral mejadi bagian penting yang harus dilakukan oleh setiap pemangku kepentingan (stakeholders) pajak. Aplikasi moral itu sendiri pada hakekatnya adalah aplikasi melakukan kewajiban bayar pajak dengan cara benar.

Sedangkan aplikasi moral bagi pejabat dan pengguna pajak adalah aplikasi dalam hal mengelola dan/atau menggunakan pajak agar supaya sesuai kebutuhannya. Transparan dan akuntabel adalah merupakan bagian penting yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Dalam konteks moral, bahwa awalnya Tuhan Yang Maha Esa sudah memberikan moral baik bagi setiap orang. Artinya, setiap orang pasti punya kerinduan untuk menolong sesamanya.Namun, ketika unsur kepentingan dan keuntungan pribadi mendominasi perasaan, mulailah moral menjadi kendur atau luntur.

Aplikasi moral yang awalnya baik, menjadi melemah saat pikiran kepentingan dan keuntungan pribadi lebih mendominasi. Aplikasi moral dalam beberapa hal, seperti memenuhi kesadaran, kepedulian, pengelolaan dan penggunaan pajak nampaknya perlu dibangkitkan.

Terlebih setelah terjadi beberapa kasus pajak yang mencoreng citra pemerintah, patut kiranya aplikasi moral diberikan suntikan kekuatan untuk menjalaninya. Seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) pajak hendaknya bisa mewujudkan aplikasi moral dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bersama.

Mengaplikasikan moral adalah modal dasar yang harus dipegang teguh. Tanpa itu, berbagai program pemerintah yang telah dicanangkan, tidak akan ada artinya. Tanpa aplikasi moral pajak, semua akan sia-sia.

Aplikasi moral harus menjadi lawan dari kecenderungan berpikir dan bertindak sebatas verbal belaka. Aplikasi moral harus memberikan warna cerah dibandingkan warna hari-hari sebelumnya.Tekad kuat memberikan warna cerah yang diinginkan semua pihak, wajib untuk diciptakan dan dijaga keberlanjutannya.

Warna cerah yang dicerminkan seluruh pemangku kepentingan kiranya akan memberikan nadi kehidupan reformasi pajak menjadi lebih lancar berjalan. Dengan kesadaran melakukan aplikasi moral perpajakan secara baik, diharapkan tidak lagi terjadi kerumunan masyarakat mendapatkan sedikit uang untuk menambah belanja.

Dalam abad ke-18, Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (terkenal dengan nama Wealth of Nations) melancarkan ajarannya sebagai azas pemungutan pajak yang dinamainya “The Four Maximx” uraiannya sebagai berikut :
  1. Pembagian tekanan pajak di antara subjek pajak masing-masing hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing - masing, di bawah perlindungan pemerintah (asas pembagian/ asas kepentingan). Dalam asas «equality» ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula.
  2. Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan tidak mengenal kompromis (not-arbitary). Dalam asas «certainty» ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan ketentuan mengenai waktu pembayarannya.
  3. «Every taxt ought to be levied at the time, or ini the manner, in which it is most likely to be con-venient for the contributor to pay it.» Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut «convenience of payment», menetapkan bahwa pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para wajib pajak , yaitu saat sedekat-dekatnya dengan detik atau saat diterimanya penghasilan yang bersangkutan.
  4. «Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep out of the pockets of the people as little as possible over and above what it brings into the public treasury of the State». Asas efi siensi ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilaksanakan atau dilakukan sehemat - hematnya, sehinggadapat dihindari terjadinya biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya.
Perlu diketahui bahwa asas yuridis, asas ekonomis, dan asas finansial telah dimiliki oleh “The Four Maxims” diatas, seperti 
  1. asas keadilan dalam maxim pertama
  2. asas yuridis dalam maxim kedua
  3. asas ekonomis dan fi nansial dianut di dalam maxim ketiga
  4. Hofstra, dalam mengemukakan pendapat mengenai : “The Four Maxims” dari Adam Smith ini mengatakan bahwa dalam “formulasi klasik dari teori tentang pajak” itu terlihat adanya kepincangan dalam tubuh asas-asas tersebut, disamping kenyataan, bahwa cara perumusan Maxim pertama dirasakannya kurang tandas dan tuntas (exact).
Misalnya : Oleh Adam Smith diwariskan kepada generasi penerusnya suatu persoalan penting , yaitu : Apa sajakah yang dapat dipakai sebagai ukuran untuk mengukur “equality” tersebut?. Namun demikian, ungkapan (Adam Smith) itu merupakan sesuatu yang merumuskan suatu asas pemungutan pajak yang dalam prinsip diikuti oleh para sarjana pengikutnya.

Menurut John Stuart Mill, sekitar tahun 1830 ditemukan formulasi yang lebih konkret, yaitu bahwa dalam pajak atas pendapatan bukanlah pendapatan itu sendiri yang dipakai sebagai ukuran pengenaan pajak pendapatan, yang dikenal dengan sebutan “gaya pikul” atau ability to pay taxes.
Post a Comment

Post a Comment