WcBma5LrLOg50X66kF3p5HaCfJ41Lo99JHjSF8cx
Bookmark

Kebijakan Keuangan Negara

Kebijakan Keuangan Negara

Proses kebijakan publik meliputi formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan (Sirajuddin, 2016). Kebijakan berorientasi pada kepentingan yang lebih luas dan terintegrasi untuk kepentingan masyarakat (Almeida and Báscolo, 2006).

Kebijakan publik memerlukan evaluasi pada saat perumusan, implementasi, dan pasca implementasi atau penilaian dampak (evaluasi) (Khan and Rahman, 2017).

Untuk menganalisis dan merumuskan isu-isu kebijakan publik dan administrasi publik, dapat menggunakan pendekatan siklus kerangka kerja (framework) struktural-fungsional dengan langkah-langkah “tiga tahap struktural” dan “empat tahap fungsional”. Tiga tahap struktural” kebijakan publik meliputi “problem stream”, “policy stream”, dan political stream”.

Sedangkan “Empat tahap fungsional” administrasi publik (horizontal-row) meliputi “agenda setting”, “formulation”, “implementation”, dan “evaluation” (Skok, 1995). Jika opini publik (dalam proses formulasi) searah dengan kebijakan publik, maka dikatakan kongruen, dan hal tersebut merupakan arah baru formulasi (Monroe, 1998).

Isu koordinasi, kolaborasi, dan kemitraan dalam perspektif formulasi kebijakan publik sangatlah penting, terutama peran negara dalam ketiga unsur tersebut dalam pemenuhan sumber daya dan produksi, pengembangan modal sosial, dan pembangunan yang berkelanjutan (Hall, 1999). 

Implementasi kebijakan hendaknya diarahkan pada lokus dan fokus sehingga sejalan dengan harapan masyarakat. Implementasi kebijakan menghendaki fungsional, baik dari aspek maksud, output, maupun outcome (Akib, 2010).

Implementasi kebijakan merupakan kegiatan, program, dan aktivitas dalam penerapan keputusan kebijakan dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan pada keputusan kebijakan. Untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan, maka ada tiga kegiatan pokok, yakni ex-ante (memilih alternatif prioritas), ongoing (progres pelaksanaan), dan ex-post (tingkat ketercapaian) (Desrinelti et al., 2021).

Adapun evaluasi kebijakan publik merupakan kegiatan sine qua non (tindakan, kondisi unsur yang sangat diperlukan dan penting) dan tidak dapat dihindari bagi setiap negara bangsa di dunia, yakni evaluasi pada saat perumusan, implementasi, dan pasca-implementasi atau penilaian dampak (evaluasi). 

Standar dan kriteria yang tepat sangat diperlukan dalam setiap tahapan evaluasi, hindari subjektivitas, pilihlah kalangan profesional sehingga evaluasi kebijakan dapat dilakukan dengan benar (Khan and Rahman, 2017).

Terkait dengan perumusan kebijakan, suatu perumusan inovasi kebijakan memerlukan metodologi dan strategi, yaitu “siklus kebijakan”, yang meliputi agenda setting, analisis dampak, dan perumusan kebijakan.

Agenda perumusan kebijakan dengan kombinasi (campuran berbagai instrumen kebijakan) lebih efektif daripada agenda tunggal, karena akan ada interaksi dan efek umpan balik antar-instrumen dalam merumuskan suatu kebijakan (Falcone et al., 2019).

Model inkrementalis dalam kebijakan publik berpandangan bahwa kebijakan merupakan variasi atau kelanjutan dari kebijakan di masa lalu, memodifikasi kebijakan di masa lalu, bertujuan untuk melakukan evaluasi kebijakan secara komprehensif, mempertahankan kinerja yang telah dicapai dan memperbaiki tujuan yang belum tercapai untuk memuaskan masyarakat yang pluralistik (Muadi et al., 2016).

Beberapa kerangka konseptual kebijakan publik tersebut dapat dipahami bahwa kebijakan publik merupakan sistem tindakan pemerintah atau lembaga dengan tujuan untuk memecahkan masalah tertentu.

Pemecahan masalah tersebut antara lain dilakukan melalui tahapan pengelolaan isu dan pembuatan regulasi (tahap formulasi), penerapan regulasi (tahap implementasi), monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan regulasi tersebut (tahap evaluasi) serta melaksanakan reformulasi kebijakan.

Kerangka konseptual reformulasi kebijakan merupakan “siklus tindakan umpan balik dan evaluasi menyeluruh” yang bertujuan memodifikasi dan menyempurnakan formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan yang sudah dilaksanakan pada siklus sebelumnya sebagai upaya pemangku kepentingan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik (Undang et all., 2022).

Kebijakan keuangan negara yang secara operasional diatur dalam Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN) merupakan wujud dari pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Keuangan disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara dalam rangka mendukung terwujudnya perekonomian prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (Indonesia, 2021c).

Dalam setiap tahun, kebijakan APBN secara rutin dilaksanakan melalui prores formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan. Dalam proses formulasi kebijakan, opini dan isu yang dibangun diharapkan kongruen dan searah dengan tujuan pembangunan nasional.

Dalam proses formulasi kebijakan, koordinasi dan kolaborasi adalah hal yang sangat penting untuk pemenuhan sumber pembangunan yang berkelanjutan. Implementasi kebijakan APBN merupakan wujud nyata dari tujuan pembangunan nasional.

Implementasi kebijakan yang tidak sesuai dengan tujuan pembangunan nasional menunjukkan ketimpangan antara harapan dan kenyataan. Hal tersebut perlu dievaluasi melalui proses evaluasi kebijakan APBN, antara lain dilaksanakan melalui APBN Perubahan dalam tahun berjalan.

Secara komprehensif, evaluasi tersebut dilakukan pada akhir tahun anggaran dan diperbaiki pada tahun anggaran berikutnya. Dalam keadaan darurat - sesuai dengan kewenangannya - presiden melalukan diskresi implementasi kebijakan keuangan negara sebagaimana terjadi pada saat menghadapi pandemi Corona Virus Disease (Covid-19).

Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/ atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Instrumen kebijakan yuridis tersebut ditetapkan karena Covid-19 berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net) serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak (Juliani, 2020).

Analisis Kekebalan Hukum Bagi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berdasarkan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 menyimpulkan (1) memberikan kekebalan hukum secara absolut pada KSSK, anggotanya, maupun lembaga pengusung anggotanya; dan (2) dapat membebaskan pelaku tindak pidana korupsi serta dapat menghalangi penyidikan dan penindakan tindak pidana korupsi.

Kondisi tersebut sangat mendesaknya untuk dilakukan perubahan Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) Perppu Nomor 1 Tahun 2020/ Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 karena adanya kekebalan hukum absolut yang diberikan, karena dapat menciptakan skandal yang serupa dengan skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang belum diselesaikan secara rampung karena adanya hambatan hukum (Gunawan, 2020).

Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menurut Pasal 22 ayat (1) makna kata “Presiden berhak” dapat dimaknai bahwa presiden mempunyai hak dan tergantung sepenuhnya kepada penilaian subjektivitas presiden, padahal hal tersebut harus didasarkan pada keadaan yang objektif, yaitu adanya parameter kegentingan yang memaksa karena terjadinya kekosongan hukum.

Dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undangundang dalam prosedur biasa karena memerlukan waktu yang cukup lama.

Ukuran kegentingan memaksa yang dimaksud oleh Perpu No. 1 Tahun 2020 adalah bahwa penyebaran COVID-19 di Indonesia menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu, berimplikasikasi antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, memburuknya sistem keuangan sehingga mendesak dilakukannya tindakan antisipasi (forward looking) dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan; penyelamatan perekonomian nasional, stabilitassistem keuangan, dan berbagai kebijakan dalam memperkuat lembaga dalam sektor keuangan.

Dari sekian pertimbangan pemerintah, tidak perlu adanya norma hukum baru dalam rangka menghadapi dan menangani Covid-19, termasuk pemberian “hak imunitas” (Iswanto and Surisman, 2020). Pemeriksaan laporan keuangan negara oleh BPK pada masa Pandemi Covid-19 menghadapi kerawanan rekayasa/ penipuan (fraud) dan korupsi pengadaan barang/jasa sehingga BPK menghadapi kesulitan audit.

Rekomendasi yang diberikan dalam upaya optimalisasi pemeriksaan laporan keuangan di masa pandemi Covid-19 antara lain penguatan koordinasi dan komunikasi dengan pihak-pihak yang diperiksa serta peningkatan penggunaan teknologi informasi dalam audit pengelolaan keuangan dengan pendekatan kasus dan hukum.

Post a Comment

Post a Comment